Oleh: Rodifatun Annisa, Kader HMI Komisariat Cakraningrat
Epistemologi sering dianggap sebagai milik dunia akademik penuh teori, rumit, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun, jika kita lihat ke arah timur pulau Jawa.Yaitu madura, kita akan menemukan bentuk epistemologi yang hidup pengetahuan lokal yang dibangun dan diwariskan melalui tradisi.
Masyarakat Madura tidak selalu belajar dari buku maupun melewati teori saja.Melainkan mereka belajar dari wajengan orang tua, cerita rakyat, dari adat istiadat. Nilai seperti kehormatan (kehormatan diri sendiri maupun kehormatan keluarga), solidaritas, dan kejujuran tidak hanya sekedar norma, tapi bagian dari pengetahuan yang ditanamkan sejak kecil melalui praktik kebudayaan masyarakat. Seperti carok atau sistem keluarga tanean lanjang.
Budaya masyarakat Madura seperti carok pada hakikatnya Carok adalah sebuah tradisi perkelahian yang melibatkan duel satu lawan satu dengan menggunakan senjata tajam (celurit) yang dilakukan oleh masyarakat Madura, biasanya sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan harga diri atau kehormatan. Pada kenyataannya, praktik carok saat ini jika di bandingkan dengan carok di masa lalu memiliki perbedaan yang signifikan. jika kita lihat dari perspektif historis, carok dahulu memiliki aturan dan arena yang spesifik. Akan tetapi masyarakat saat ini menganggap carok bagian dari tradisi Madura yang digunakan sebagai solusi penyelesaian konflik. Padahal, carok bukanlah warisan dari budaya atau tradisi yang patut untuk dipertahankan. Karna tindakan ini merupakan bentuk dari kekerasan yang menyimpang dari norma agama, hukum, dan nilai-nilai kemanusiaan. Sudah saatnya masyarakat memahami bahwa penyelesaian masalah tidak harus dilakukan dengan kekerasan, melainkan melalui musyawarah dan pendekatan yang lebih beradab.Namun, tidak semua aspek budaya Madura yang terkait dengan kekerasan seperti carok. Ada contoh lain dari budaya Madura yang menunjukkan nilai-nilai sosial dan budaya yang positif, seperti Tanean Lanjhang.
Tanean Lanjhang adalah salah satu bentuk arsitektur tradisional masyarakat Madura yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan budaya yang kuat. Istilah "Tanean Lanjhang" sendiri merujuk pada rumah-rumah yang berjejer dan berdekatan dalam satu kompleks hunian keluarga besar. Dalam konteks sosial, Tanean Lanjhang berfungsi sebagai simbol kekeluargaan dan solidaritas antar anggota keluarga. Pola hunian yang berdekatan memungkinkan interaksi yang intens antar anggota keluarga, sehingga memperkuat hubungan emosional dan sosial di antara mereka. Selain itu, Tanean Lanjhang juga memiliki nilai-nilai praktis, seperti memudahkan anggota keluarga untuk saling membantu dalam kegiatan sehari-hari, seperti pertanian, perdagangan, dan lain-lain.
Tanean Lanjhang juga memiliki potensi besar sebagai daya tarik wisata budaya. Melalui pelestariannya, sehingga budaya Madura dapat diperkenalkan kepada dunia luar sekaligus berkontribusi pada peningkatan perekonomian masyarakat setempat. Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern, nilai-nilai yang terkandung dalam Tanean Lanjhang tetap relevan. Tradisi ini dapat menjadi contoh konkret tentang bagaimana menjaga keharmonisan, kebersamaan, dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, dalam melihat dua sisi budaya Madura seperti carok dan Tanean Lanjhang, kita bisa lebih bijak dalam memahami apa yang disebut sebagai "warisan budaya". Tidak semua yang tumbuh dalam masyarakat patut dilestarikan, dan tidak semua yang sederhana bisa dipandang remeh. Dalam konteks epistemologi, kita perlu memilih mana pengetahuan lokal yang membangun nilai kemanusiaan, dan mana yang justru melanggengkan kekerasan (melenceng dari nilai kemanusiaan).
Carok, meski kerap dianggap bagian dari identitas Madura, sejatinya adalah bentuk penyimpangan dari nilai-nilai kemasyarakatan yang menjunjung tinggi kehormatan serta kedamaian. Yang tentunya hal ini sudah meleset dari nilai tersebut.Meskipun secara nilai sudah jelas bertentangan dengan prinsip moral dan etika kemanusiaan yang universal.
Dalam konteks budaya lokal, epistemologi berperan penting sebagai alat untuk memilih dan menilai mana tradisi yang perlu dilestarikan dan mana yang perlu ditinggalkan.Dalam epistemologi tidak hanya berbicara tentang bagaimana pengetahuan diperoleh,akan tetapi juga menuntut adanya sikap kritis terhadap segala bentuk informasi dan praktik yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. dalam keseharian masyarakatnya. Di Madura, epistemologi tidak hanya berwujud didalam teori di ruang kuliah saja, melainkan terwujud nyata dalam tradisi-tradisi lokal yang diwariskan turun-temurun. Salah satu contohnya adalah tradisi Tanean Lanjhang, pola pemukiman khas Madura yang merefleksikan sistem pengetahuan tentang relasi sosial, struktur keluarga, serta nilai-nilai kolektif masyarakat.
Tradisi seperti Carok, meskipun sering dipandang negatif karena kekerasan yang melekat, juga tidak lepas dari dimensi epistemologi. Carok bukan sekedar bentuk pertikaian, tetapi mengandung pengetahuan lokal tentang harga diri, kehormatan, dan penyelesaian konflik yang diwariskan secara kultural. Ini menunjukkan bahwa epistemologi di Madura bersumber dari pengalaman hidup, nilai-nilai adat, dan praktik sosial yang mengakar kuat.
Dengan demikian, menyelami epistemologi Madura berarti menyelami cara orang Madura memahami dunia, membangun nilai, serta menata kehidupan sosial mereka. Tradisi-tradisi ini menjadi bukti bahwa pengetahuan tidak selalu bersifat tekstual dan akademis, tetapi juga bisa bersifat lisan, simbolik, dan praktis yang lahir dari konteks lokal.
Pendekatan ini membuka mata kita bahwa epistemologi tidak harus selalu lahir dari filsafat Barat yang rasional dan sistematis.Pengetahuan lokal yang berkembang di Madura memperkaya khazanah epistemologi dengan perspektif kontekstual dan berbasis pengalaman kolektif. Epistemologi Madura menawarkan kearifan yang mengintegrasikan akal, hati, dan budaya, sehingga menciptakan pemahaman yang holistik dan mendalam.Lebih jauh, nilai-nilai seperti gotong royong, kehormatan keluarga, dan kesetiaan terhadap tradisi menjadi sumber utama dalam pembentukan pengetahuan masyarakat Madura. Nilai-nilai ini tidak hanya diajarkan secara lisan, akan tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pola hidup komunal, pengambilan keputusan kolektif, hingga tata cara bermasyarakat yang baik.
Oleh karna itu, penting bagi kita khususnya generasi muda akademisi untuk tidak memandang rendah pengetahuan tradisional. Justru dengan memahami epistemologi lokal seperti yang ada di kehidupan masyarakat Madura, kita dapat membangun jembatan antara ilmu pengetahuan modern dan warisan budaya, sehingga tercipta sinergi yang saling memperkaya dan tidak saling meniadakan. Dalam dunia yang semakin maju dan berkembang, pelestarian dan pengakuan terhadap epistemologi lokal menjadi langkah penting untuk menjaga identitas masyarakat, sekaligus memperkuat posisi budaya dalam arus perubahan zaman.
0 Komentar